Kasus Aceh | Banda Aceh --- kota yang dijuluki sebagai Serambi Mekah, menjadi sorotan bukan hanya karena kekuatannya dalam menjaga tradisi Islam, namun juga karena meningkatnya kasus eksploitasi anak. Di tahun 2024, berbagai kasus ini memperlihatkan ironi mendalam yang mengganggu citra religius kota tersebut. Salah satu kasus yang paling mencengangkan terjadi pada Februari 2024, ketika sepasang suami istri di Aceh Besar ditangkap karena memaksa anak-anak mereka yang berusia dua dan empat tahun untuk mengemis. Mirisnya, hasil dari eksploitasi anak-anak ini digunakan untuk membeli narkoba jenis sabu.
Kejadian ini bukanlah satu-satunya kasus yang mengemuka di Banda Aceh. Banyak anak-anak lainnya, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu, terpaksa bekerja di jalanan. Selain mengemis, mereka juga sering ikut berjualan atau bekerja di sektor informal tanpa perlindungan yang memadai. Berdasarkan laporan dari dinas sosial setempat, jumlah anak yang terjebak dalam eksploitasi di Banda Aceh telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun Aceh memiliki undang-undang yang tegas tentang perlindungan anak, pelanggaran tetap marak terjadi.
Pada akhir tahun 2023, YBHA (Yayasan Bantuan Hukum Anak) Peutuah Mandiri sendiri pernah meminta pihak berwenang dan masyarakat untuk menangani dan memberikan perhatian khusus terhadap kasus eksploitasi anak, namun hal ini belum memberikan perubahan yang signifikan. Dimana saat ini masih ditemui beberapa pekerja dan pengemis anak di warung-warung kopi dan persimpangan jalan.
Eksploitasi anak tidak hanya bertentangan dengan hukum negara, tetapi juga dengan nilai-nilai agama yang dipegang teguh di Aceh. Pemerintah daerah dan masyarakat diharapkan lebih proaktif dalam menangani masalah ini. Beberapa lembaga sosial di Aceh telah mencoba menyelamatkan anak-anak yang menjadi korban eksploitasi, tetapi tantangan dalam memutus siklus kemiskinan dan ketergantungan ekonomi keluarga terhadap anak-anak mereka menjadi hambatan besar.
Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi fenomena ini mencakup peningkatan penegakan hukum, kampanye kesadaran publik tentang hak-hak anak, serta pemberdayaan ekonomi bagi keluarga kurang mampu. Harapannya, melalui kerja sama pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat, Banda Aceh bisa membebaskan generasi mudanya dari eksploitasi dan memberi mereka kesempatan untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan bermartabat.
Kasus eksploitasi anak di Banda Aceh tentunya melanggar Aturan mengenai perlindungan anak yang didasarkan pada Pasal 13 ayat (1) huruf b UU 23/2002 yang mengatur bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan, salah satunya, dari perlakuan eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
Saat ini YBHA Peutuah Mandiri sedang bekerja sama dalam program Spear bersama Nonviolent Peaceforce yang didukung oleh Kedutaan Besar Belanda di Indonesia tetap concerns dan fokus untuk tetap mengawal kasus-kasus terkait eksploitasi terhadap anak dan mendorong agar aparat penegak hukum agar bersikap tegas terhadap para pelaku yang mengeksploitasi anak untuk mengemis tersebut. Hal ini tidak perlu ditakutkan, karena aturan hukum telah mengatur hal itu.
Anak-anak yang dipaksa bekerja, baik di jalanan maupun dalam aktivitas lainnya menimbulkan kekhawatiran tidak hanya dari segi hukum dan sosial, tetapi juga dampak psikologis yang mendalam pada anak-anak tersebut. Mereka rentan mengalami trauma yang dapat mempengaruhi perkembangan emosional, mental, dan sosial.
Dampak psikologis pada pekerja anak seringkali sangat parah dan berlangsung dalam jangka panjang. Anak-anak yang tereksploitasi cenderung mengalami depresi, kecemasan, serta rendahnya harga diri. Kehilangan masa kecil yang seharusnya penuh dengan belajar dan bermain membuat mereka merasa terasing dari lingkungan sosialnya. Selain itu, sering kali anak-anak ini menjadi korban kekerasan fisik dan emosional, baik dari keluarga sendiri maupun dari orang lain selama mereka bekerja.
Konselor YBHA Metuah Mandiri menyampaikan bahwa "Dampak psikologis pekerja anak menunjukkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan berisiko tinggi cenderung mengalami kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal di kemudian hari. Mereka juga lebih rentan terhadap gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi, dan masalah perilaku. Tekanan untuk bekerja di usia yang terlalu muda mengikis kemampuan mereka untuk menikmati masa kecil dan beradaptasi dengan baik dalam masyarakat. Hal ini tentunya akan berdampak signifikan pada usia dewaasa jika tidak dicegah sedini mungkin"
Di Banda Aceh, fenomena ini semakin kontras karena kota ini sangat menekankan nilai-nilai religius yang seharusnya melindungi anak-anak dari eksploitasi. Namun, kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa kemiskinan dan ketidakpedulian masih mengancam kehidupan anak-anak di kota ini. Jika masalah eksploitasi anak tidak segera ditangani, tidak hanya masa depan mereka yang akan terancam, tetapi juga masa depan kota ini secara keseluruhan.
Pentingnya penanganan eksploitasi anak tidak hanya terbatas pada aspek hukum dan sosial, tetapi juga pada pemulihan mental dan emosional anak-anak yang telah menjadi korban. Program pemulihan psikologis, seperti terapi trauma, harus menjadi bagian integral dari upaya rehabilitasi agar mereka bisa kembali menikmati masa kanak-kanak dan berkembang dengan normal.
Siti Amira
Manager kasus dan konselor
Yayasan Bantuan Hukum Anak (YBHA) Petuah Mandiri Banda Aceh
Hp: 0822-7676-7664