Oleh: Tgk Alwy Akbar Al Khalidi, SH, MH
Opini - Politik terbuka di Indonesia telah menjadi salah satu tonggak penting demokrasi modern. Sistem ini memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi secara langsung dalam menentukan pemimpin mereka, membuka ruang transparansi, serta mendorong akuntabilitas para pejabat publik. Di balik idealisme ini, politik terbuka juga membawa tantangan besar, termasuk potensi perpecahan di masyarakat. Salah satu pemicunya adalah praktik money politics, yang tidak hanya merusak esensi demokrasi, tetapi juga memperdalam konflik sosial.
Politik terbuka memberikan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memilih dan dipilih. Dengan ini, publik mendapatkan kesempatan lebih besar untuk berperan dalam menentukan arah bangsa. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sistem ini sering disalahgunakan, terutama oleh para aktor politik yang memanfaatkan lemahnya literasi politik masyarakat. Dalam banyak kasus, politik terbuka kerap menjadi arena pragmatisme, di mana uang menjadi alat utama untuk merebut dukungan rakyat.
Praktik money politics, yang hampir selalu mewarnai setiap proses pemilu, telah merusak legitimasi politik terbuka. Uang sering kali digunakan untuk membeli suara, baik secara langsung melalui serangan fajar maupun dalam bentuk lain seperti pemberian bantuan material. Akibatnya, pemilih tidak lagi mempertimbangkan kualitas calon berdasarkan program atau visi-misi mereka, melainkan pada siapa yang memberikan keuntungan ekonomi jangka pendek. Fenomena ini menjadi pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi, yang seharusnya didasarkan pada kompetisi gagasan dan kebijakan, bukan kekuatan modal.
Dampak dari money politics tidak hanya merusak sistem demokrasi, tetapi juga menciptakan ketegangan di tengah masyarakat. Pemilu sering kali meninggalkan luka sosial yang mendalam, terutama ketika kompetisi politik mempertegas garis-garis perbedaan identitas seperti agama, suku, atau kelas sosial. Polarisasi ini tidak hanya terjadi antarindividu, tetapi juga antar kelompok dalam masyarakat, yang kemudian sulit dipulihkan bahkan setelah pemilu usai. Dengan begitu, politik terbuka tidak lagi menjadi mekanisme persatuan, melainkan alat yang memperbesar jurang perpecahan.
Dalam konteks inilah muncul wacana untuk kembali ke sistem politik tertutup. Sistem politik tertutup, yang pernah diterapkan di masa lalu, menawarkan mekanisme seleksi pemimpin yang lebih terkendali. Dalam sistem ini, calon pemimpin dipilih oleh partai politik melalui mekanisme internal, sehingga meminimalkan pengaruh langsung dari uang dan konflik di tingkat akar rumput. Sebagai contoh, dalam sistem tertutup, masyarakat tidak terlibat secara langsung dalam memilih wakil rakyat atau kepala daerah, tetapi cukup memilih partai politik yang dipercayai. Dengan demikian, tensi politik di masyarakat dapat ditekan, dan potensi perpecahan sosial akibat kontestasi politik dapat diminimalkan.
Namun, apakah kembali ke sistem politik tertutup benar-benar merupakan solusi? Meski terlihat menjanjikan, sistem ini tidak lepas dari kelemahannya sendiri. Salah satu kritik terbesar terhadap sistem politik tertutup adalah minimnya transparansi. Proses seleksi yang dilakukan secara internal oleh partai politik cenderung bersifat eksklusif dan rentan terhadap pengaruh oligarki. Kandidat yang terpilih sering kali lebih mencerminkan kepentingan elit partai dibandingkan kepentingan rakyat. Akibatnya, legitimasi sistem politik tertutup menjadi lemah, karena rakyat kehilangan kendali langsung terhadap proses demokrasi.
Selain itu, sistem politik tertutup juga berpotensi melanggengkan budaya nepotisme dan politik dinasti. Dalam banyak kasus, pemimpin yang terpilih melalui sistem ini lebih mementingkan hubungan personal dan kepentingan kelompok dibandingkan kualitas atau kapabilitasnya. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik secara keseluruhan justru semakin terkikis.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Apakah kita harus memilih antara politik terbuka atau politik tertutup? Sebenarnya, alih-alih kembali ke masa lalu dengan sistem tertutup, yang lebih mendesak adalah melakukan reformasi terhadap politik terbuka itu sendiri. Politik terbuka tetap relevan sebagai salah satu instrumen demokrasi, tetapi harus disertai dengan mekanisme yang mampu mengatasi tantangan-tantangan yang ada.
Pertama, perlu ada pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik money politics. Penegakan hukum yang tegas dan transparan terhadap pelaku money politics, baik kandidat maupun pemilih, menjadi kunci untuk membersihkan demokrasi dari pengaruh uang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus diberi wewenang lebih besar untuk mengawasi dan menindak setiap bentuk pelanggaran, termasuk memperkuat peran masyarakat sipil dalam melaporkan indikasi kecurangan.
Kedua, pendidikan politik bagi masyarakat harus menjadi prioritas. Literasi politik yang rendah sering menjadi alasan mengapa masyarakat mudah terpengaruh oleh praktik money politics. Melalui pendidikan politik yang berkelanjutan, masyarakat dapat memahami pentingnya memilih pemimpin berdasarkan program dan kualitas, bukan sekadar pemberian material.
Ketiga, perlu ada regulasi yang membatasi pengeluaran kampanye oleh partai politik dan kandidat. Pengeluaran yang berlebihan sering kali menjadi celah bagi masuknya praktik money politics. Dengan membatasi dana kampanye, kandidat dapat lebih fokus pada penyampaian program kerja mereka daripada berlomba-lomba menggelontorkan dana untuk menarik perhatian pemilih.
Keempat, reformasi partai politik juga menjadi kunci. Partai politik harus menjadi institusi yang benar-benar berfungsi sebagai mediator antara rakyat dan pemerintah, bukan sekadar kendaraan politik bagi individu atau kelompok tertentu. Proses seleksi kandidat dalam partai harus dilakukan secara transparan dan demokratis, sehingga menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas dan memiliki legitimasi.
Politik terbuka adalah refleksi dari demokrasi modern yang memberikan ruang lebih besar bagi rakyat untuk berperan. Namun, sistem ini harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan dan pendidikan yang memadai agar tidak menjadi arena perpecahan. Dengan reformasi yang tepat, kita dapat memperbaiki politik terbuka tanpa harus mundur ke sistem tertutup yang penuh keterbatasan. Demokrasi yang sehat bukan hanya tentang pilihan sistem, tetapi bagaimana sistem tersebut dijalankan dengan menjunjung tinggi nilai keadilan, transparansi, dan persatuan.
Penulis adalah: Pengurus Ikatan Sarjana Alumni Dayah Aceh, Pengurus Pusat Tastafi Aceh, Anggota HUDA Banda Aceh, Pengajar Sosiologi Hukum.